Ekonommi Makro Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah.
Setiap
tahun pemerintah menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN) kemudian mengajukannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk disahkan
menjadi APBN. Kebijakan fiskal merupakan salah satu topik pembahasan utama
dalam kajian-kajian ekonomi, termasuk kajian ekonomi Islam. Dalam kajian
ekonomi Islam, Kebijakan fiskal telah dikenal
sejak zaman Rasulullah SAW dan khulafaurrasyidin yang kemudian
dikembangkan oleh para ulama.
Pembahasan tentang kebijakan fiskal dimasukkan dalam
kategori ilmu ekonomi makro. Munculnya pemikiran tentang kebijakan fickal
dilatar belakangi oleh adanya kesadaran terhadap pengaruh pengeluaran dan
penerimaan pemeriuntah. Pengeluaran
dan penerimaan negara berpengaruh terhadap pendapatan nasional. Untuk itu,
dibutuhkan suatu kebijakan yang disebut sebagai kebijakan fiskal untuk
menyesuaikan pengeluaran dengan penerimaan negara. Penyesuaian antara
pengeluaran dan penerimaan mengakibatkan ekonomi stabil yang terlihat dari laju
pertumbuhan ekonomi yang layak tanpa adanya pengangguran dan kestabilan
harga-harga umum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal atau” fiscal
policy”, biasa diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam
bidang anggaran belanja Negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya
perekonomian (Reksoprayetno, 2000: 97).
B.
Peranan
Kebijakan Fiskal Dalam Perekonomian
Kenyataan menunjukkan bahwa volume transaksi yang
diadakan oleh pemerintah dikebanyakan Negara dari tahun ke tahun bertendensi
untuk meningkat lebih cepat dari pada meningkatnya pendapatan nasional. Ini
berarti bahwa peranan dari tindakan fiskal pemerintah dalam turut menentukan
tingkat pendapatan nasional menjadi lebih besar. Untuk Negara yang sudah maju
perekonomiannya semakin besar peranan tindakan fiskal pemerintah dalam
mekanisme pembentukan tingkat pendapatan nasional terutama dimaksudkan agar
supaya pemerintah dapat lebih mampu dalam mepengaruhi jalannya perekonomian,
sedangkan bagi Negara yang sedang berkembang, pemerintah pada umumnya menyadari
akan rendahnya investasi yang timbul atas inisiativ dari masyarakat sendiri.
Tanpa campur tangan pemerintah, kecil kemungkinannya
suatu perekonomian yang masih terbelakang dapat melaksanakan investasi yang
cukup besar untuk dapat mempertinggi kapasitas produksi nasionalnya sedemikian
rupa sehingga tingkat kemakmuran dinegara itu dapat ditingkatkan. Dari sini
dapat kita saksikan betapa besar peranan kebijkan fiskal pemerintah bagi
masyarakat yang ingin memajukan perekonomiannya (Reksoprayetno, 2000: 92-93).
C. Kebijakan
Fiskal Masa Rasulullah
Sebagai seorang
perintis sebuah keberadaan negara Islam tentunya Rasulullah Shallaallahu Alaihi Wasallam memulai segala sesuatunya dari serba
nol. Mulai dari tatanan politik, kondisi ekonomi, sosial maupun budaya semuanya
ditata dari awal. Dari kondisi nol tersebut membutuhkan jiwa seorang pejuang
dan jiwa seorang yang ikhlas dalam menata sebuah rumah tangga pemerintahan,
menyatukan kelompok-kelpompok masyarakat yang sebelumnya terkenal dengan
perpecahan yang mana masing-masing kelompok menonjolkan karakter dan budayanya.
Di sisi lain Rasulullah harus mengendalikan depresi yang dialami oleh
kaum muslimin melaui strategi dakwahnya agar ummat muslim mempunyai keteguhan
hati (beriman) dalam berjuang, mentata perekonomian yang carut marut dengan
menyuruh kaum muslimin bekerja tanpa pamrih dan lain sebagainya.
Upaya Rasulullah
dalam mencegah terjadinya perpecahan di kalangan kaum muslimin maka beliau
mempersatukan kaum Anhsor (sebagai tuan rumah) dengan kaum Muhajirin (sebagai
kelompok pendatang). Rasulullah menganjurkan agar kaum Anshor yang notabene
memiliki kekayaan dapat membantu saudara-saudaranya dari kaum Muhajirin. Maka
hasil dari upaya tersebut terjadilah akulturasi budaya antara kaum Anshor
dengan kaum Muhajirin sehingga kekuatan kaum Muslim bertambah.
Untuk
mengantisipasi kondisi keamanan yang selalu mengancam maka Rasulullah
mengeluarkan kebijakan bahwa daerah Madinah dipimpim oleh beliau sendiri dengan
sebuah sistem pemerintahan ala-Rasul. Dari kepemimpinan beliau maka lahirlah
berbagai macam kreativitas kebijakan yang dapat menguntungkan bagi kaum muslim.
Kebijakan utama beliau adalah membangun masjid sebagai pusat aktivitas kaum
muslimin.
Setelah perjuangan
dalam tataran ideologi sudah dibenahi, maka Rasulullah melangkah pada tahap berikutnya yaitu
dengan mereformasi bidang ekonomi dengan berbagai macam kebijakan beliau.
Seperti diulas panjang di atas bahwa kondisi ekonomi dalam keadaan nol. Kas
negara kosong, kondisi gegrafis tidak menguntungkan dan aktivitas ekonomi
berlajan secara tradisional. Melihat kondisi yang tidak menentu seperti ini
maka Rasulullah s.a.w. melakukan upaya-upaya yang terkenal dengan Kebijakan
Fiskal beliau sebagai pemimpin di Madinah yaitu dengan meletakkan dasar-dasar
ekonomi (Sirojuddin, 2013: 1).
Diantara kebijakan
Rasulullah tersebut seperti yang diungkapkan Karnaen A Perwataatmajda (2006:
14) adalah:
a. Memanfaatkan Baitul Mal
Baitul maal sengaja
dibentuk oleh Rasulullah s.a.w sebagai tempat pengumpulan dana atau pusat pengumpulan kekayaan
negara Islam yang digunakan untuk pengeluaran tertentu. Karena pada awal
pemerintahan Islam sumber utama pendapatannya adalah Khums, zakat, kharaj, dan jizya (bagian ini akan dijelaskan secara
mendetail pada bagian komponen-komponen penerimaan negara Islam).
b.
Pendapatan Nasional dan Partisipasi Kerja
Salah satu kebijakan Rasulullah dalam pengaturan
perekonomian yaitu peningkatan pendaptan dan kesempatan kerja dengan
mempekerjakan kaum Muhajirin dan Anshor.Upaya tersebut tentu saja menimbulkan mekanisme
distrubusi pendapatan dan kekayaan sehingga meningkatkan permintaanagregat terhadap output yang akan diproduksi. Disi lain
Rasullah membagikan tanah sebagai modal kerja. Kebijakan beliau sesuai dengan
teori basis, yaitu bahwa jika suatu negara atau daerah ingin ekonominya maju
maka jangan melupakan potensi basis yang ada di negara atau daerah tersebut.
c.
Kebijakan Pajak.
Kebijakan pajak ini adalah kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah muslim berdasarkan atas jenis dan jumlahnya (pajak
proposional).
d.
Kebijakan Fiskal Berimbang
Untuk kasus ini pada masa pemerintahan Rasulullah
dengan metode hanya mengalami sekali defisit neraca Anggaran Belanja yaitu
setelah terjadinya “Fathul Makkah”, namun kemudian kembali membaik (surplus)
setelah perang Hunain.
e.
Kebijakan Fiskal Khusus
Kebijakan ini dikenakan dari sektor voulentair (sukarela) dengan cara meminta bantuan
Muslim kaya. Jalan yang ditempuh yaitu dengan memberikan pijaman kepada
orang-orang tertentu yang baru masuk Islam serta menerapkan kebijakan insentif (Sirojuddin, 2013: 1).
D.
Kebijakan Fiskal Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Berkaitan dengan
kebijakan fiskal masa kekhalifahan Abu Bakar yaitu melanjutkan kebijakan-kebijakan
yang telah diterapkan oleh Rasulullah. Hanya ada beberapa kebijakan fiskal
beliau yang cukup dominan dibandingkan yang lain yaitu pemberlakuan kembali
kewajiaban zakat setelah banyak yang membangkangnya. Kebijakan berikutnya
adalah selektif dan kehati-hatian dalam pengelolaan zakat sehingga tidak
ditemukan penyimpangan di dalam pengelolaannya.
Strategi yang dipakai
oleh Amirul Mukminin Umar Ibn Khaththab adalah dengan cara penanganan urusan
kekayaan negara, di samping urusan pemerintahan. Khalifah adalah penanggung
jawab rakyat, sedangkan rakyat adalah sumber pemasukan kekayaan negara yang
manfaatnya kembali kepada mereka dalam bentuk jasa dan fasilitas umum yang
diberikan negara.
Dalam sambutannya ketika
diangkat menjadi khalifah, beliau mengumumkan kebijakan ekonominya yang
berkaitan dengan fiskal yang akan dijalankannya. Dari pidato yang beliau
sampaikan di hadapan khalayak ramai sebagai dasar-dasar beliau dalam
menjalankan kepemimpinannya yang terkenal dengan sebutan 3 dasar sebagai berikut:
a.
Negara
Islam mengambil kekayaan umum dengan benar, dan tidak mengambil hasil
dari kharaj atau harta fa’i yang diberikan
Allah kecuali dengan mekanisme yang benar.
b.
Negara
memberikan hak atas kekayaan umum, dan tidak ada pengeluaran kecuali sesuai dengan
haknya; dan negara menambahkan subsidi serta menutup hutang.
c.
Negara
tidak menerima harta kekayaan dari hasil yang kotor. Seorang penguasa tidak
mengambil harta umum kecuali seperti pemungutan harta anak yatim. Jika dia
berkecukupan, dia tidak mendapat bagian apapun. Kalau dia membutuhkan maka dia
memakai dengan jalan yang benar.
Pada masa Usman tidak
ada perubahan yang signifikan pada kondisi ekonomi secara keseluruhan.
Kebanyakan kebijakan ekonomi mengikuti khalifah sebelumnya yang kebanyakan
pakar mengatakan bahwa khalifah sebelumnya (Umar) adalah sang reformis dalam
bidang ekonomi.
Sayyidina Ali pada
awal-awal kepemimpinan mengawali dengan sebuah kebijakan, yaitu membersihkan
kalangan pejabat yang korup yang dilakukan sebelumnya. Maka tidak sedikit pejabat
sebelumnya yang dijebloskan ke dalam penjara. Salah satu yang berhasil
dijebloskan ke dalam penjara adalah Gubernur Ray dengan tuduhan penggelapan
uang. Mengenai kebijakan fiskalnya,Sayyidina Ali tetap mengacu pada khalifah sebelumnya. Bahkan
kebijakan fiskal yang diterapkan oleh Umar banyak diteruskan olehSayyidina Ali, bukan Ustman (Sirojuddin, 2013: 1).
E.
Tujuan Kebijakan Fiskal
Tujuan dari kebijakan fiskal dalam Islam tidak
terlepas dari prinsip-prinsip ekonomi Islam. Mahmud Muhammad Bablily menetapkan
lima prinsip yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dalam Islam, yaitu: al-ukhuwwa
(persaudaraan), al-ihsan (berbuat baik), al-nasihah (memberi
nasihat), al-istiqamah (teguh pendirian), dan al-taqwa (bersikap
takwa) (Muslimin, 2005: 37-38).
Konteksnya dengan kebijakan fiskal, dalam pemikiran
Islam menurut An-Nabahan (2000:59), pemerintah merupakan lembaga formal yang
mewujudkan dan memberikan pelayanan yang terbaik kepada semua rakyatnya.
Pemerintah mempunyai segudang kewajiban yang harus dipikul demi mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, salah satunya yaitu tanggung-jawab terhadap
perekonomian. Tanggung jawab dan tugas pemerintah dalam perekonomian
diantaranya mengawasi faktor utama penggerak perekonomian, misalnya mengawasi
praktek produksi dan jual beli, melarang praktek yang tidak benar atau
diharamkan (Nurul Huda, dkk, 2008: 190).
F. Kebijakan
Fiskal Dalam Islam
Kebijakan fiskal dalam Islam bertujuan untuk menciptakan
masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan distribusi kekayaan dengan
menempatkan nilai-nilai material dan spiritual secara seimbang. Kebijakan
fiskal lebih banyak peranannya dalam ekonomi Islam dibanding dengan ekonomi
konvensioanl.
Menurut Metwally, setidaknya ada 3 tujuan yang hendak
dicapai kebijakan fiskal dalam ekonomi islam.
1.
Islam mendirikan tingkat kesetaraan ekonomi
dan demokrasi yang lebih tinggi, ada prinsip bahwa “ kekayaan seharusnya tidak
boleh hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. “ Prinsip ini menegaskan
bahwa setiap anggota masyarakat seharusnya dapat memperoleh akses yang sama
terhadap kekayaan melalui kerja keras dan usaha yang jujur.
2.
Islam melarang pembayaran bunga dalam
berbagai bentuk pinjaman.
3.
Ekonomi Islam mempunyai komitmen untuk
membantu ekonomi masyarakat yang kurang berkembang dan untuk menyebarkan pesan
dan ajaran Islam seluas mungkin. Oleh karena itu, sebagaian dari pengeluaran
pemerintah seharusnya digunakan untuk berbagai aktivitas yang mempromosikan
Islam dan meningkatkan kesejahtaraan muslim di negara-negara yang kurang
berkembang (Istanto, 2013: 1).
Jika melihat praktek kebijakan fiskal yang pernah
diterapakn oleh Rasulullahndan Khulafaurrasyidin, maka kebijakan fiskal dalam
ekonomi Islam dapat dibagi dalam 3 hal, yaitu:
a) Kebijakan
pemasukan dari kaum Muslimin, yaitu:
ü Zakat,
yaitu salah satu dari dasar
ketetapan Islam yang menjadi sumber utama pendapatan di dalam suatu
pemerintahan Islam pada periode klasik.
ü Ushr,
yaitu bea impor yang dikenakan
kepada semua pedagang dimana pembayarannya hanya sekali dalam satu tahun dan
hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham.
ü Wakaf
adalah harta benda yang didedikasikan kepada umat Islam yang disebabkan karena Allah
SWT dan pendapatannya akan didepositokan di baitul maal.
ü Amwal
Fadhla berasal dari harta benda kaum muslimin yang
meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang
meninggalkan negerinya.
ü Nawaib yaitu
pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya
dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan ini pernah
terjadi pada masa perang tabuk.
ü Khumus adalah
harta karun/temuan. Khumus sudah berlaku pada periode sebelum Islam.
ü Kafarat adalah
denda atas kesalahan yang dilakukan seorang muslim pada acara keagamaan seperti berburu di musim haji.
b) Kebijakan
pemasukan dari kaum non muslim, yaitu:
Ø Jizyah (tribute
capitis/ pajak kekayaan) adalah pajak yang dibayarkan oleh orang
non muslim khususnya ahli kitab sebagai jaminan perlindungan jiwa,
properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer.
Ø Kharaj (tribute
soil/pajak, upeti atas tanah) adalah pajak tanah yang dipungut dari kaum
nonmuslim ketika khaibar ditaklukkan (Sirojuddin, 2013: 1).
c)
Kebijakan Pengeluaran
Kebijakan Pengeluaran
pendapatan negara didistrubusikan langsung kepada orang-orang yang berhak
menerimanya. Di antara golongan yang berhak menerima pendapatan (distribusi
pendapatan) adalah berdasarkan atas kreteria langsung dari Allah S.W.T yang
tergambar di dalam al-Qur’an QS. At-Taubah Ayat 90.
Orang-orang yang berhak
menerima harta zakat ini terkenal dengan sebutan delapan ashnaf.
Delapan asnab ini langsung mendapat rekomendasi dari Allah S.W.T sehingga tidak
ada yang bisa membatahnya. Ini artinya kreteria dalam al-Qur;an terhadap
orang-orang yang berhak mendapatkan atas kekayaan negara lebih rinci
dibandingkan dengan kreteria yang tetapkan oleh pemerintah kita yang secara
umum di-inklud-kan kepada orang-orang miskin saja (Sirojuddin, 2013: 1).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang
dilakukan pemerintah di bidang keuangan meliputi penerimaan Negara dan
pengeluaran Negara
·
Tujuan dari kebijakan fiskal dalam Islam
adalah untuk menciptakan stabilitas ekonomi, tingkat pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan pemerataan pendapatan
·
Sedangkan terhadap kebijakan fiskal pada masa
awal Islam, terlihat bahwa zakat memainkan peranan yang sangat penting
untuk mencapai tujuan kebijakan fiskal, yaitu untuk membiayai pengeluaran
pemerintah dan untuk melakukan fungsi pengaturan dalam rangka mencapai tujuan
ekonomi tertentu, seperti pertumbuhan ekonomi dan penciptaan investasi dan
lapangan kerja. Hal ini tidak jauh berbeda dengan fungsi pajak dalam kebijakan
fiskal modern. Oleh karena itu, zakat dan pajak mempunyai persamaan dalam
kedudukannya dalam kebijakan fiskal.
B.
Saran
Adanya kebijakan fiskal dalam islam, umat islam sebaiknya
dapat menekankan keseimbangan pengeluaran dan penerimaan anggaran. Distribusi
pendapatan dari orang mampu kepada orang tidak mampu merupakan satu hal utama
yang diterapkan dalam kebijakan fiskal islami. Dengan diimplementasikannya
kebijakan fiskal islam, permasalahan ekonomi Negara terutama inflasi dapat
diantisipasi, sehingga tidak akan menimbulkan krisis ekonomi maupun finansial.
Daftar
Pustaka
ü Reksoprayetno,
Soediyono. 2000. Pengantar Ekonomi Makro
Edisi 6. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
ü Nurul
Huda, dkk, 2008. Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis. Jakarta:
Kencana.
ü Muslimin,
Kara. 2005. Bank Syariah di Indonesia Analisis Terhadap Pemerintah Indonesia
Terhadap Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII
ü Sirojuddin,
Ahmad. 2013. Kebijakan Fiskal Islam dan Kebijakan Fiskal Era Moderen. (Online).
(http://juraganmakalah.blogspot.com/2013/01/kebijakan-fiskal-islam-dan-kebijakan.html.
Diakses 04 Desember 2015).
ü Anugrah,
Sadad. 2012. Kebijakan Fiskal Menurut Konsep Islam, (Online). (https://makro4d.wordpress.com/2012/05/18/kebijakan-fiskal-menurut-konsep-ekonomi-islam-2/
Diakses 05 Desember 2015).
Comments