Wakaf dan Wasiat


A.    Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf
1.      Pengertian Wakaf
Kata wakaf berasal dari bahasa arab “al-waqf ” bentuk masdar dari وقف – يقف - وقفا. Kata al-waqf semakna dengan al-habs bentuk masdar dari حبس – يحبس - حبسا yang berarti menahan atau berhenti[1], mengekang atau menghentikan, tetapnya sesuatu dalam keadaan semula. Sedangkan wakaf menurut istilah adalah menahan benda asal (pokok) dan menjadikan buah atau hasil untuk sabilillah atau jalan kebaikan, yakni menahan benda atau harta dan menyalurkan hasilnya di jalan Allah.
Dalam pengertian istilah secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli) lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Sedangkan yang dimaksud dengan “tahbisul ashli” ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan dan digadaikan kepada orang lain. Sedangkan pengertian “cara pemanfaatannya” adalah menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan.
Selain definisi yang terdapat menurut fiqh klasik, khusus di Negara kita Indonesia ini terdapat rumusan wakaf sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf pasal 1 ayat (1), bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
Selain itu Majelis Ulama Indonesia juga telah mengeluarkan Fatwa tentang wakaf melalui rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 11 Mei 2002, bahwa wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut ( menjual, memberikan atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.
Dari definisi diatas, meskipun terdapat perbedaan pengertian wakaf antara satu ulama dengan ulama lainnya, namun pada dasarnya mengandung makna yang sama. Perbedaan yang ada dalam hal-hal yang skunder (cabang) bukan primer (prinsip). Sedangkan dalam hal- hal yang pokok ada ukuran-ukuran yang disepakati oleh sebagian besar ulama yaitu eksistensi benda wakaf itu haruslah bersifat tetap.
Dengan ungkapan lain istilah wakaf diterapkan untuk harta benda yang tidak musnah dan manfaatnya dapat diambil tanpa mengkonsumsi harta benda itu sendiri. Artinya biarpun faedah atau manfaat benda itu diambil, zat benda tersebut masih tetap ada selamanya, sedangkan hak kepemilikannya berakhir, tidak boleh dijual, diwariskan, dihibahkan serta harta tersebut dipersembahkan oleh si wakif (orang yang mewakafkan) untuk tujuan amal shaleh guna mendapatkan keridhoan Allah SWT. Dengan melepaskan harta benda wakaf itu menjadi milik Allah sehingga tidak dapat dimiliki atau dipindah tangankan kepada siapa pun dan dengan cara bagaimanapun juga.
2.      Dasar Hukum Wakaf
Beberapa dalil yang menjadi dasar disyariatkan ibadah wakaf dapat dilihatdari beberapa ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW antara lain:
a.       Dasar hukum wakaf dalam al-Qur’an
1)      Surat al-Hajj ayat 77
يَآَ يُّهاَ الَّذِيْنَ آ مَنُواارْكَعُواوَاسْجُدُواواعْبُدُوارَبَّكُمْو وَافْعَلُواالْخَيْرَلَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ( سورةالحج )
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu,sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”. (Q.S.Al-Hajj : 77)
b.      Dasar Hukum Wakaf Dalam Al-Hadits
1.      Hadits Riwayat Imam Muslim

عن أبى هر ير ة ر ضى اللهُ عنه أن رسو ل الله صلى الله عليه وسلم قال:اذا ما ت ألأ نسا  ن اتقطع عمله إلامن ثلاث صد قة جا رية أو علم ينتفع به أو ولد صلح يد عو له ( روه التر مذ ى )
Artinya: “Dari Abi Hurairah ra.., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:“Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim).

B.     Rukun, Syarat, Tujuan dan Fungsi Wakaf
1.      Rukun dan Syarat Wakaf
Meskipun para pakar hukum islam berbeda pendapat dalam merumuskan definisi wakaf, namun mereka sepakat dalam menentukan rukun wakaf, tanpa adanya rukun-rukun sesuatu tidak akan berdiri tegak. Wakaf sebagai suatu lembaga islam mempunyai beberapa rukun. Tanpa adanya rukun-rukun yang telah ditetapkan, wakaf tidak dapat berdiri atau tidak sah.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf rukun wakaf ada empat yaitu:
a.       Orang yang berwakaf (wakif)
Yang dimaksud dengan wakif adalah pemilik harta benda yang melakukan perbuatan hukum (menyerahkan harta bendanya) menurut para pakar hukum islam, suatu wakaf diaggap sah dan dapat dilaksanakan apabila wakif mempunyai kecakapan untuk melakukan (tabarru) yakni melepas hak milik dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan materil. Orang dapat dikatakan mempunyai kecakapan dalam melakukan perwakafan, apabila orang tersebut merdeka, benar-benar pemilik harta yang diwakafkan, berakal sehat, baligh dan pandai. Kemampuan dalam melakukan perbuatan wakaf ini sangat penting karena wakaf merupakan pelepasan benda dari pemiliknya untuk kepentingan umum.
b.      Harta yang diwakafkan (Mauquf bih)
Agar harta benda yang diwakafkan sah, maka harta benda tersebut harus memenuhi tiga syarat, pertama, mutaqawwin (mal mutaqawwin) yakni harta pribadi milik si wakif secara sah dan halal, benda bergerak atau tidak bergerak. Kedua, benda yang diwakafkan itu jelas wujudnya dan pasti batasbatasnya dan tidak dalam keadaan sengketa. Ketiga, benda yang diwakafkan itu harus kekal yang memungkinkan dapat dimanfaatkan secara terus menerus.
c.       Tujuan Wakaf (Mauquf alaih)
Yang dimaksud dengan mauquf alaih adalah tujuan wakaf yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh ajaran islam. Oleh karena itu, benda- benda yang dijadikan sebagai objek wakaf hendaknya benda-banda yang termasuk dalam bidang yang mendekatkan diri kepada Allah.
d.      Ikrar Wakaf (Sighat wakaf)
Sighat wakaf ini merupakan rukun wakaf yang disepakati oleh jumhur Fuqaha. Tanpa adanya ikrar wakaf, para fuqaha menganggap wakaf belum sempurna dilaksanakan. Yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah pernyataan yang merupakan penyerahan barang- barang wakaf kepada nazhir untuk dikelola sebagaimana yang diharapkan oleh pemberi wakaf.

C.    Macam-macam Wakaf
Bila ditinjau dari segi peruntukan ditujukan kepada siapa wakaf itu, maka wakaf dapat dibagi menjadi dua macam:
1.      Wakaf Ahli
Yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang- orang tertentu, seseorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf seperti ini juga disebut wakaf dzurri. Wakaf jenis ini (wakaf ahli/dzurri) terkadang juga disebut wakaf ‘alal aulad yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan social dalam lingkungan keluarga (family), lingkungan kerabat sendiri. Wakaf ini bertujuan menjaga anak dan cucu dari yang berwakaf dzurri disyaratkan supaya barang yang diwakafkan itu hendaklah mengandung faedah yang tidak ada putus- putusnya sekalipun keturunannya telah habis.
2.      Wakaf Khairi
Yaitu wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum). Wakaf ini ditujukan kepada umum dengan tidak terbatas penggunaannya yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya. Kepentingan umum tersebut bisa untuk jaminan social, pendidikan, kesehatan, pertahanan, keamanan dan lain- lain.
Dari tinjauan penggunaannya, wakaf ini lebih banyak manfaatnya ketimbang wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang mengambil manfaat. Sesungguhnya jenis wakaf ini yang sesuai dengan hakikat wakaf dan secara substansial, wakaf ini juga merupakan salah satu cara membelanjakan (memanfaatkan) harta di jalan Allah.
Perbedaan antara wakaf ahli dan wakaf khairi hanyalah terletak pada pemanfaatannya. Wakaf ahli pemanfaatannya hanya terbatas pada keluarga wakif, yaitu anak- anak mereka dalam tingkat pertama dan keturunan mereka secara turun temurun sampai anggota keluarga tersebut meninggal semuanya. Sesudah itu hasil wakaf dapat dimanfaatkan orang lain seperti janda, anak-anak yatim piatu, atau orang- orang miskin26. Sedangkan wakaf khairi sejak semula pemanfaatannya sudah ditujukan untuk kepentingan umum dan tidak dikhususkan untuk orang- orang tertentu.
Bila ditinjau dari jenis harta bendanya, maka wakaf terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak:
1.      Benda tidak bergerak seperti tanah, sawah dan bangunan. Benda macam inilah yang sangat dianjurkan agar diwakafkan, karena mempunyai nilai jariyah yang lebih lama.
2.      Benda bergerak seperti mobil, sepeda motor, binatang ternak atau bendabanda lainnya. Yang terakhir ini dapat juga diwakafkan. Namun demikian, nilai jariahnya terbatas hingga benda- benda tersebut dapat dipertahankan.
Dalam fiqh islam, wakaf sebenarnya dapat meliputi berbagai benda. Walaupun berbagai riwayat atau hadits yang menceritakan masalah wakaf ini adalah mengenai tanah, tapi berbagai ulama memahami bahwa wakaf bukan  tanah pun boleh saja asal bendanya tidak langsung musnah atau habis ketika diambil manfaatnya.
D.    Pengertian Wasiat
Secara bahasa “Wasiat diambil dari Washaithu-ushi Asy- Sysai’a (aku menyambung sesuatu). Orang berwasiat menyambung apa yang ada di dalam hidupnya setelah kematian.
Dalam syari’at, wasiat adalah penghibahan benda, piutang atau manfaat oleh seseorang kepada orang lain dengan ketentuan bahwa orang yang di beri wasiat memiliki hibah tersebut setelah kematian orang yang berwasiat. Wasiat juga bisa diartikan dengan Iishaa’ (memberikan pesan, perintah, pengampuan, perwalian). Secara etimologi adalah janji kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan tertentu semasa hidupnya atau setelah meninggalnya. Sedangkan dalam istilah para fiqih, wasiat adalah perintah untuk melakukan suatu perbuatan setelah meninggal atau dengan kata lain, bersedekah dengan harta setelah mati. Wasiat juga diartikan dengan pesan, baik berupa harta maupun lainnya.
Sedangkan menurut syari’at, wasiat berarti pesan khusus yang dijalankan setelah orang yang berpesan itu meninggal dunia. Maka wasiat berarti pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang akan dilakukan terhadap hartanya sesudah ia meninggal dunia.

E.     Dasar Hukum Wasiat
Al-Qur’an sering kali menggunakan bentuk deskriptif (Khabar) untuk menunjukkan makna imperatif atau perintah (Amar). Semua perintah dari Allah harus dilaksanakan oleh orang- orang mukmin dalam kehidupan nyata. Tidak ada alas an apa pun bagi mereka untuk menunda atau mengabaikannya. Oleh karena itu, perintah- perintah dalam al-Qur’an banyak disampaikan dalam bentuk deskripsi, seakan-akan dengan sendirinya perintah itu telah terlaksana.
Dalam masalah wasiat banyak menggunakan bentuk khabar untuk menyampaikan perintah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 180,

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda- tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.

F.     Wasiat Kepada Ahli Waris
Imam Syafi’I berpendapat bahwa hukum wasiat untuk ahli waris adalah sesuatu hukum yang tidak ada. Manakala seseorang berwasiat untuk ahli waris, maka wasiat itu digantungkan. Jika yang berwasiat meninggal dunia dan ahli waris yang menerima wasiat itu, maka tidak ada wasiat baginya. Jika yang diberi wasiat itu terhalang menerima warisan oleh orang lain yang menerima wasiat atau orang yang menerima wasiat keluar sebagai ahli waris pada hari meninggalnya orang yang berwasiat, seperti orang yang berwasiat kepada istrinya pada saat sehat, kemudian ia menthalak istrinya dengan thalak tiga lalu meninggal dunia, maka istri tidak menerima warisannya. Wasiat untuk bekas istri itu dibolehkan, karena ia bukan ahli warisnya lagi. Jika seseorang berwasiat kepada orang lain dan yang berwasiat itu mempunyai ahli waris yang dapat menghijab penerima wasiat, lalu ahli waris yang menghijab itu meninggal, maka jadilah yang diberi wasiat itu ahli waris. Atau ia berwasiat kepada seorang wanita, kemudian ia mengawini wanita itu, lalu yang berwasiat meninggal dunia, dan wanita itu telah menjadi istrinya, maka batallah wasiat itu dikarenakan wasiat itu untuk ahli waris (dan itu tidak boleh).
Setiap apa yang diwasiatkan oleh orang yang sakit untuk ahli warisnya berupa harta berikut manfaatnya dan ia meninggal dunia akibat sakit itu, maka wasiat tersebut tidak boleh diberikan kepa ahli warisnya bagaimanapun keadaannya.
Jika seseorang meminta izin untuk mewasiatkan kepada ahli waris sewaktu ia masih sehat atau sakit, dan para ahli waris mengizinkannya atau tidak, maka yang demikian itu sama saja. Jika para ahli waris menepati wasiat itu kepada orang yang diwasiatkan, maka hal itu adalah baik bagi mereka dan lebih menunjukkan ketakwaan kepada allah swt. Jika mereka tidak melaksanakannya, maka seorang hakim (penguasa) tidak dapat memaksa mereka untuk melakukan sesuatu, sebagaimana yang dinukilkan dari Rasulullah tentang warisan.
Syarat dilaksanakannya wasiat adalah musha lahu bukan ahli waris mushi ketika mushi wafat. Jika masih ada ahli waris lainnya mengizinkan maka wasiat bisa dilaksanakan. Jadi wasiat yang diberikan untuk ahli waris ditangguhkan hingga ada izin dari ahli waris lainnya.
Dengan mengutamakan salah satu ahli waris tanpa kerelaan ahli waris lainnya adalah sesuatu yang bisa menyebabkan perpecahan dan pertikaian, terputusnya hubungan persaudaraan, serta bisa mengobarkan rasa benci dan hasud antara sesama ahli waris.
Demikianlah syarat dilaksanakannya wasiat menurut jumhur ulama. Mereka menetapkan bahwa wasiat sah, namun tidak boleh diberikan kepadaahli waris. Wasiat tersebut tidak dilaksanakan melainkan jika ahli waris yang lainnya mengizinkan.

G.    Syarat dan Rukun Wasiat
Ada beberapa rukun wasiat, yaitu sebagai berikut:
a.       Orang yang memberi wasiat disebut mushi
b.      Orang yang menerima wasiat disebut musha lahu
c.       Sesuatu (harta) yang diwasiatkan disebut mushaa bihi
d.      Ucapan atau pernyataan disebut sighat
Adapun syarat-syarat wasiat yang berhubungan dengan rukun-rukunnya sebagai berikut:
a.       Syarat-syarat orang yang memberi wasiat disebut mushi
Mushi adalah orang yang memberi wasiat kepada orang lain untuk menguruskan harta sesudah ia meninggal. Untuk sahnya wasiat, pemberi wasiat harus memenuhi syarat sebagai berikut:
·         Baligh
·         Berakal sehat
·         Dengan sukarela atas kemauan sendiri
b.      Syarat-syarat Orang yang menerima wasiat disebut musha lahu
Musha lahu adalah orang yang diberi wasiat untuk menguruskan harta pemberi wasiat sesudah ia meninggal. Musha lahu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
·         Orangnya jelas, baik nama maupun alamatnya
·         Ia ada ketika pemberian wasiat
·         Cakap menjalankan tugas yang diberikan oleh pemberi wasiat
c.       Syarat-syarat harta yang diwariskan
·         Hartanya dapat diwariskan atau merupakan barang-barang bernilai
·         Sudah ada ketika wasiat itu dibuat
·         Milik pemberi wasiat itu sendiri
d.      Syarat-syarat sighat
Tidak ada redaksi khusus untuk wasiat. Jadi wasiat sah diucapkan dengan redaksi bagaimanapun, yang bisa dianggap untuk menyatakan pemberian hak pemilikan secara suka rela sesudah wafat. Jadi, jika pemberi wasiat berkata: “ Aku mewasiatkan barang untuk si fulan,” maka ucapan itu sudah menyatakan adanya wasiat, tanpa harus disertai tambahan “ sesudah aku meninggal”.
Selanjutnya berkaitan kesaksian dalam hal wasiat, sebagaimana Asy Sya’rani menukil dari Abu Hanifah, Syafi’i dan Maliki sebagai berikut;” jika wasiat ditulis dengan tulisan tangan si sakit, dan diketahui bahwa itu memang tulisannya, tetapi penulisan itu tidak disaksikan, maka tulisan tersebut tidak dijadikan dasar hukum. Artinya, jika terdapat wasiat dengan tulisan tangan si sakit, tetapi penulisannya tidak disaksikan dan si sakit tidak pula mengukuhkan wasiat tertulisnya di hadapan orang banyak, maka tulisannya itu tidak dapat dianggap sebagai wasiat, sekalipun diketahui bahwa wasiat tertulis itu bersumber dari si sakit.
Akan tetapi Imam Ahmad bin Hambal berkata: “ wasiat yang tertulis yang demikian itu tetap dijadikan dasar hukum sepanjang tidak diketahui bahwa wasiat sisakit menarik kembali ( membatalkan) wasiat tertulisnya itu”. Para ulama mazhab Imamiyah mengatakan: “wasiat dapat ditetapkan dengan tulisan,sebab bukti-bukti lahiriyah perbuatan merupakan bukti, sebagaimana halnya bukti bukti lahiriyah perkataan, sedangkan tulisan adalah saudara perbuatan dalam menyatakan apa yang ada dalam hati, bahkan tulisan merupakan petunjuk yang lebih kuat dan lebih utama dari semua petunjuk yang lain.







DAFTAR PUSTAKA
Abd. Shomad. 2010. Hukum Islam. Jakarta: Kencana.
Abdul Wahhab Khallaf. 1951. Ahkam al- Waqf. Kairo: Matba’ah al Misr.
Adijani al-Alabij. 2002. Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Departemen Agama RI. Undang- undang RI Nomor. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
            Dian Khirul Umam. 2000. Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka setia.
Imam Syafi’I Abu Abdullah bin Idris. 2007. Mukhtasar Kitab Al Umm Fi al Fiqh. Jakarta: Pustaka Azzam.
Sabiq, Sayyid. 1996. Fiqh Sunnah, ahli bahasa oleh kamaluddin A. Marzuki dkk. Bandung: al-Ma’arif.
Said Agil Husin al-Munawar. 2004. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta: Permadani.
Saleh Al-fauzan. 2005. Fiqih sehari-hari. Jakarta: Gema Insasi Press.







Comments

makalah selanjutnya

close
***E-money exchangers***

Popular Posts